Jatuh Mati (Cerita Pendek)
J
|
~oO0Oo~
“kenapa
nek tidak boleh?” “bukannya itu terdengar seperti hal bodoh nek?”
Nenek
tertawa walau lebih terdengar seperti kekehan.
“cucu
nenek memang tau apa yang terdengar kebohongan belaka”
“ceritalah
nek, aku ingin tahu”
“yah
bukan kebohongan juga, namun banyaknya orang bodoh saja si …”
“…
waktu itu semua orang sangat egois dan bodoh”
oO0Oo
Hiruk-pikuk
suasana tidak tenang diluar sana, rasa-rasanya desa ini makin rusuh saja tiap
hari. Aku benar-benar muak mendengar berita-berita beberapa hari ini. Berita yang
membuat banyak hal menjadi lebih menyeramkan, pandemic kali ini bagai tidak ada
harapan untuk hidup saja rasanya.
Namun
kehidupanku yang tiap hari harus pergi keluar memaksa aku kembali menerjang
keadaan diluar sana. Aku juga putus asa, tiap kali keluar rasanya aku terus
memikirkan wasiat-wasiat untuk mati nanti walau aku tak punya harta yang cukup
berlimpah.
Matahari
memang belum terbit tapi aku harus sudah mengayuh sepeda untuk keliling desa,
memang jual roti tidak dapat banyak, tapi setidaknya dapat menghidupi diriku.
“Roti
inah! Roti!”
“Bu
RT, beli roti apa bu?”
“Yang
biasa saja nah, 4 ya” “gimana nah jualan pas lagi gini?”
“Ya
gitu bu, kurang sih dari biasanya, semua pada parnoan takut saya punya
penyakitnya juga kali bu”
“haduhh,
nih deh ibu kasih kamu masker deh,pake ya nah, ati-ati aja deh”
“eh
makasih banyak bu“
Bu
RT memang baik hati, tapi kadang terlalu baik untuk dapat dimanfaatkan kasian
ia. Beranjak dari rumah bu RT aku kembali mengitari desa dan mendapatkan
penghasilan untuk beberapa roti lain yang berhasil kujual. Saat masih
berputar-putar mengelilingi desa toko kelontong milik koko terlihat sudah
penuh, padahal biasanya ia buka saat menjelang siang.
“Ko,
ada gula?”
“Ko,
ada beras?!”
Pelanggan-pelanggannya
sepertinya berbondong-bondong membeli pasokan, terlihat beberapa orang yang
telah usai membeli perluannya langsung membawa berbundel-bundel kantong plastik
berisi pasokannya. Diseberang toko terlihat bapak-bapak lusuh, dia hanya
melihat kosong kearah toko kelontong milik koko. Pelan-pelan kudekati ia dan
kutanyakan.
“Pak
ga kesana aja?”
“Ah
neng, bapak ga punya uang, gara-gara penyakit ini bapak gaada penumpang sama
sekali udah 3 hari” “apalagi rata-rata orang liat bapak lusuh begini udah pasti
dikira bawa penyakit”
Miris
mendengarnya, saat-saat genting ini rasanya orang-orang menipiskan
kemanusiannya juga. Melihat ia hanya menatap toko kelontong berhasil membuatku
semakin iba padanya. Pelan-pelan aku ambil 3 roti jualanku padanya.
“Ambil
saja pak”
Setelah
itu cepat-cepat ku kayuh sepedaku menjauh agar tidak terlihat genenangan mata
airku yang sudah siap keluar.
oO0Oo
Sudah
dua minggu sejak keluarnya perintah untuk berdiam diri dirumah, namun bagi kami
orang-orang yang tidak memiliki hak istimewa maupun kekayaan, tetap harus keluar rumah untuk mengisi perut dan dompetnya
yang kosong. Pagi ini matahari agak lebih terik dari biasanya, namun selain itu
ada kerusuhan di rumah bu RT, aku dan rasa haus gosipku datang dengan alibi
memutari desa untuk menjual roti dengan maksud menonton drama pagi hari.
“Gak
bisa pak RT!!” “Pak RT tau kan sekarang sedang pandemic kaya begini?! Kita
harus dirumah, supaya penyakitnya ga makin nular pak!” jerit bu wira.
“Tapi
bu wira ngabisin stok diseluruh toko-toko kelontong desa itu gabener juga bu!”
jerit ibu lainnya.
“Lah
kata siapa?! Saya gamerasa seperti itu!! Ibu kalo ngomong hati-hati bu!!”
“Saya
sama ibu-ibu lain lihat pake mata bu! Ibu ngabisin semua stok barang!! Pak RT
adili pak ini gabener, banyak keluarga yang kelaparan gara-gara ibu wira!!”
terdengar seruan ibu-ibu lainnya membenarkan sambil berteriak.
“Saya
gaterima pak RT, ini kan jelas-jelas karena mereka juga, penyakit kaya gini kan
gara-gara mereka pak! Coba liat mereka semua keluar rumah tanpa masker, gapunya
hand sanitizer, gimana mau berhenti pandeminya kalo orang-orang desa aja kaya
gini pak!!” bu wira berteriak tidak terima.
Seruan
demi seruan banyak terdengar, sisi orang-orang kaya dan miskin di desa ini
makin memanas, sampai-sampai aku lupa untuk menjual habiskan roti hari ini.
Sial.
oO0Oo
Besoknya
aku kembali memutari desa dengan masker yang diberi bu RT, setidaknya aku
mencucinya, dan lagi pula ini adalah teknik marketing agar orang-orang dapat
lebih percaya pada dagangan roti ku, terutama orang-orang kaya yang ada didesa.
Toko
kelontong koko belum buka namun sudah banyak ibu-ibu yang menunggu didepan
toko. Pada dasarnya diriku ini adalah pribadi yang ingin tahu segalanya
langsung mendekati bahkan berbasa-basi untuk menjual roti. Sampai salah satu
ibu mulai bercerita denga keluhan.
“dirumah
saya bener-bener abis buat beras, gula, garem, duh, paling-paling hari ini saya
cuman beli roti doang kayanya dari kamu inah”
“iya
saya gahabis pikir sama bu wira dan kawan-kawannya” sahut ibu lainnya sambil ia
memakan roti jualanku.
“kita
memang miskin, tapi tidak adil juga sampai semua stok di toko habis semua” yang
lain menyahuti dengan setuju.
“eh
dengar ga? Katanya pak wira langsung balik tuh dari LN setelah …”
Aku
tidak mendengarkan dengan seksama setelah itu, aku hanya banyak melamun,
pasokan makanan dirumahku pun sudah menipis.
oO0Oo
Hari
ini aku tidak berkeliling desa, aku sedang datang bulan, dan demi tuhan aku
tidak bisa berdiri dari kasur hari ini. Aku putuskan untuk beristirahat kembali
buat esok hari. Kudengar katanya pak wira meminta maaf pada warga dengan membagikan
sembako bahkan APD pada warga-warga, entahlah lebih terdengar sogokan minta
maaf dimataku, aku menitipkan agar seseorang mendapatkan jatah bagianku.
Setidaknya sekarang aku tidak terlalu risau untuk makanan kedepan.
Semuanya
berjalan dengan baik, pandemic terus terjadi namun, kehidupanku dan desa ini
dapat melaksanakannya kegiataannya dengan baik, hingga tiba-tiba terdengar pak
wira dinyatakan positif saat pengecekan penyakit.
Semua
orang desa saat itu panik bahkan berbondong-bondong pergi ke kota untuk
mengecek penyakitnya, semua berubah menjadi neraka saat itu, kami orang miskin
tidak dapat melakukan banyak hal, tidak punya hak istimewa dan kekuasaan.
Pandemic
didesa kami tersebar cepat, desa kami dikatakan ODP, tidak sedikit kami yang
miskin ini meninggal, jasad-jasad kami terbungkus plastik, dikubur dengan
orang-orang penuh dengan perlindungan.
Semua
berjalan dengan cepat dan mendebarkan, banyak yang meninggal tanpa ada yang
benar-benar ingin menghadiri pemakamannya. Tidak sedikit yang mengumpat nyawa
keluarganya tidak setara dengan sembako kala itu. Desa kami merasakan neraka kala
itu.
Sampai
terdengar kabar pak wira berhasil sembuh dari penyakitnya.
oO0 END 0Oo
Karya : Sofi Nurani Fatima
Comments
Post a Comment